MAKALAH SEKTE-SEKTE DALAM AGAMA HINDU, SEKTE BHAKTI, WISNU, SIWA, SAKTI, DAN TANTRA
TUGAS MAKALAH AGAMA HINDU :
“SEKTE-SEKTE
DALAM AGAMA HINDU, SEKTE BHAKTI, WISNU, SIWA, SAKTI, DAN TANTRA”
DOSEN :
SITI NADROH, M.Ag
DISUSUN
OLEH : FAQIH MAULANA IKHSA (1112032100036)
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA
2017
SEKTE DALAM AGAMA HINDU
Sebagaimana
yang terdapat dalam agama-agama besar lainnya, maka dalam agama Hindu juga
terdapat aliran-aliran atau sekte-sekte yang masing-masing mempuyai konsepsi
tersendiri dalam menanggapi beberapa segi ajaran agama yang dipandang lebih
penting dari ajaran pokoknya. Pada umumnya sekte-sekte dalam hinduisme ini
meletakkan dasarnya dalam masalah metode mencapai kelepasan dari samsara serta
masalah filsafat atau teologinya. Banyak agama dengan sekte-sektenya dan aliran
kepercayaan yang mengajarakan berbagai cara untuk umat manusia mendekatkan diri
dan menempuh jalan ketuhanan.
Dengan
timbulnya kesusasteraan kitab-kitab suci yang kesemuannya mengambil sumber dari
cerita-cerita kitab Weda yang kemudian diolah dan ditafsirkan oleh para pendeta
dengan latar belakang fikiran/perasaanya, maka akhirnya timbullah berbagi corak
tarikah untuk mencapai cita-cita hidup mereka dalam usaha melepaskan diri dari
samsara.
Latar
belakang Hinduistis yang masing-masing mereka tonjolkan dalam tarikah-tarikah tersebut, membawa
akibat kepada mereka untuk mengadakan pemilihan terhadap objek kedewataan yang
menjadi titik akhir tujuan pemujaannya. Dengan demikian itulah akhirnya muncul
sekte-sekte yang membentuk lingkaran pemujaan kepada dewa-dewa tertentu.
Secara
bersama-sama dalam kelompoknya sebagai kelompok masyarakat, agama, sekte maupun
aliran kepercayaan melakukan kegiatan ritual keagamaan dalam berbagai jenis
acara dan upacara. Seperti dalam agama Hindu muncul beberapa Sekte yang dikenal
dengan Sekte Bhakti, Sekte Wisnu, Sekte Siwa, Sekte Sakti, dan Sekte Tantra.
SEKTE BHAKTI
Sekitar
tahun 500 SM, muncul beberapa kecenderungan “pemujaan”, pelayanan atau
kebaktian yang mencakup pengertian percaya, taat dan berserah diri kepada dewa.
Pemujaan dan kebaktian kepada dewa itu dinyatakan dalam puja yang perwujudannya
kadang-kadang dinyatakan dengan mempersembahkan berbagai macam buah-buahan dan
bunga-bungaan kepada para dewa disertai dengan penyelenggaraan upacara
mengitari kuil-kuil tertentu. Puja dan bhakti tersebut dilakukan dengan hidmat
dan sikap badan tertentu, seperti sikap merebahkan dan meniarapkan diri di
dekat patung yang terdapat dalam kuil atau tempat-tempat yang dianggap suci
lainnya sambil mengucapkan beberapa doa. [1]
Urain
tentang bhakti terdapat dalam kitab Narada Bhakti Sutra dan Shadilya Sutra.
Kitab ini banyak membicarakan wawasan keagamaan pada sekte bhakti yang terdapat
di India. Menurut sutra-sutra tadi, bhakti bukannya merupakan suatu
“pengetahuan” dan juga bukan merupakan “perbuatan ritus”, juga bukan merupakan
“sistem keagamaan”, tetapi merupakan kasih sayang, ketaatan, kepatuhan dan
penyerahan diri kepada sesuatu. Bhakti adalah “pasrah” setulus-tulusnya
(prapatti) bukan kepada suatu objek yang bersifat duniawi tetapi hanya kepada
“dewa” semata dengan segenap avatara atau ingkarnasinya.
Bhakti tergolong menjadi 2
macam :
-
Bhakti yang pertama bhakti yang
tergolong kurang sempurna atau bersifat rendah, maksudnya yaitu motivasi dalam
hidupnya masih dalam kategori duniawi, seperti memiliki kehidupan yang layak,
mempunyai keturunan yang terbaik, sukses dan sebagainya.
-
Bhakti yang kedua bhakti yang
sempurna, maksudnya yaitu segala hal yang memotivasi dirinya ialah hanya untuk
mencapai kecintaan terhadap Dewa dan dengan ketulusan yang mendalam dan
mengesampingkan segala sesuatu.
Wujud
bhakti memiliki jenjang istilah maupun sikap sebagai tatakrama mewujudkan rasa
bhakti yang beretika. Istilah bhakti itu diantaranya adalah :
A. Menghormati
adalah pencetus bhakti terhadap semua makhluk, terhadap semua ciptaan Tuhan
baik yang nyata maupun tidak nyata.
B. Memuja
adalah wujud bhakti dalam bentuk lamtunan puji-pujian yang ditujukan kepada
kebesaran Tuhan baik dalam bentuk manifestasi-Nya atau sifat-sifat
ketuhananyang memberi berkah-Nya pada kebutuhan hidup ini.
C. Berdoa
adalah wujud bhakti yang dilakukan dalam menyampaikan permohonan kehadapan-Nya.
Atas ketidak mampuan dan keterbatasan kita.
Menyembah
adalah bentuk bhakti sebagai penyerahan diri yang dilakukan dengan tulus dan
penuh kepasrahan terhadap kemaha agungan Tuhan.
Ajaran
bhakti tampak jelas dalam kitab Bhagavadgita yang sering dianggap sebagai
dokumen transisional dan kurang konsisten. Bhagavadgita mulai dengan tekanan
pada ajaran amal perbuatan yang disebut dengan “karmayoga”dan berakhir pada
bhakti kepada khrisna.
Sekalipun
kitab tersebut mengutamakan ajaran yang disebut “jnanayoga” sebagai bhakti
juga, namun jalan menuju dewa atau Tuhan disini tidak merupakan jalan yang
sangat penting. Harus diakui bahwa ajaran bhakti yang terpenting sebenarnya
adalah ajaran tentang keselamatan.
Objek
pemujaan dalam ajaran ini ialah Khrisna Bhakti dan Rama Bhakti, jalan untuk
mencapai Moksa dengan ajaran Bhakti, Tokoh yang sangat berpengaruh yaitu
Ramanuja dan Mahvda dalam ajaran Wedanta.
SEKTE
WISNU DAN SIWA
Sekte
Wisnu
Sekte
wisnu merupakan suatu aliran yang menekankan peemujaan terhadap Wisnu, istrinya
dan avataranya. Pemujaan ini biasanya mengutamakan tafsiran teistik pada
Wedanta, diantaranya oleh Visnusvamin (abad ke-13), Vattabhacarya (1479-1531),
dan Nimbaska (abad ke 12). Sekte ini lebih mengutamakan pemujaannya kepada dewa
Wisnu karena dewa ini sangat simpatik bagi mereka dengan sifat-sifatnya yang
berdasar pada perasaan bhakti (cinta).
Pandangan
pengikutnya antara lain menyatakan bahwa kebaikan Wisnu dengan Bhaktinya ialah
yang dapat memberikan jaminan kedamaian hidup bagi uumat pemujanya, karena itu
cukuplah bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerahkan diri saja kepada-Nya.
Sikap
penyerahan diri kepada-Nya akan membawa mereka kepada Nirwana. Segala kebaikan
bhakti Wisnu itu dilukiskan dengan panjang lebar dalam sucinya yaitu kitab
Purana.
Dalam
selanjutnya aliran ini berkembang
menjadi beberapa sekte dan yang penting diantaranya Pancharatra,
Waikhanas dan Karmahina. Sampai sekarang aliran yang mempunyai banyak penganut
di India adalah aliran sri dengan tokohnya ramanuja, aliran brahma dengan
tokohny Madvacarya, aliran Rudra dengan tokohnya Visnuvamy, dan sanak dengan
tokohnya Nimbaska.
Seperti
dikemukakan dalam literatur, sekitar abad ke-4 ada dua dewa yang sangat
terkenal yaitu Wisnu dan Siwa pada masa purana sekitar 300-1200, Wisnu sangat
tinggi kedudukannya dan sangat luas pengaruhnya karena ajaran avataranya yang
dikembangkan saat itu. Dalam purana, wisnu dinyatakan mempunyai beberapa
avatara secara tradisional), akan tetapi kalau diperhatikan benar-benar
barangkali saja ada lebih dari duapuluh avatara.
Kesepuluh avatara tersebut ialah :
1. Matsyavatara, berupa ikan besar untuk menolong manusia pada saat banjir
besar melanda dunia yang akan menenggelamkannya.
2. Kurnavatara, sebagai kura-kura untuk menolong dewa-dewa pada waktu mengaduk
samudera guna mendapatkan air amerta (air hidup) yakni air yang bilamana
diminum orang akan mengalami hidup kekal abadi.
3. Narashimha, sebagai singa yang berbadan manusia yang membunuh raksasa yang
tidak bisa dibunuh olehsiapapun.
4. Varahavatara, sebagai babi rusa yang menolong manusia dengan menggigit bumi
yang pada saat itu akan dibawa karpatala (neraka dibawah bumi) oleh musuh-musuh
manusia.
5. Vamanavatara, sebagai oarang cebol yang dapat mengalahkan cucu raksasa yang
bernama Narashinka. Cucu raksasa tersebut bernama Bali (Daitya Bali)
6. Budhavatara, sebagai budha yang bertugas melemahkan musuh-musuh dewa yang
menyebarkan ilmu palsu.
7. Parasuramvatara, sebagai kesatrya yang bersenjatakan parasu ( kampak)
membunuh beberapa kesatrya yang menghina ayahnya, sebagai pembalasan atas
penghinaan tersebut.
8. Ramavatara, rama sebagai kesatrya, anak Dasarata yang dibuang kehutan
belantara, dimana ia kehilangan isterinya Shinta, karena perbuatan Dasamuka
(Rahmana) yang berwatak rakus dan yang menganiaya ummat manusia. Akhirnya Rama
dapat membunuh Rahwana serta dapat merebut kembali isterinya, (cerita tentang
Rama tersebut diuraikan dalam kitab Ramayana).
9. Kalkiavara, sebagai Kalki ( Ratu Adil) yang dapat mmententramkan dunia yang
mengalami kekacauan akibat perbuatan makhluk-makhluk jahat di dunia.
10.
Kresnavatara, sebagai Kresna yang
kemudian membunuh Raja Kamsa (seorang raja Mathura kemenakan Kresna).[2]
Semua Avatara Wisnu tersebut
merupakan salah satu gambaran simbolis yang mencerminkan tentang kebenaran
kepercayaan Wisnuisme lepada adanya “juru selamat” dunia dan manusia daei
kehancuran.
Juru selamat tersebut hanyalah Wisnu tiada Dewa yang lainnya
yang mamou dengan kasihNya menyelamatkan umat manusia. Oleh karena itu maka
pengikut-pengikutnya selalu berserah diri kepada segala kekuasaan dan
kehendaknya. Yang dengan demikian dapat mencapai nirwana sebagai yang
dicita-citakan itu.
Dalam aliran wisnu masih terdapat dewa lain
yang juga dipuja, seperti brahma sang pencipta dan istrinya saraswati yang
banyak dipuja oleh para seniman musik dan sastrawan serta para siswa yang
mengharapkan kelulusan. Dewa surya (dewa matahari) juga banyak dipuja
dikalangan maga Brahman. Anak Siwa yag berkepala gajah yaitu Ganesha juga anak
yang lain yaitu Skandha (Kartikeya, Subrhamanya) banyak dipuja di Tamilnad.
Istri wisnu sendiri Lakshmi juga dipuja dan disembah sebagai dewi
keberuntungan.
SEKTE
SIWA
Sekte ini lebih tua dari sekte wisnu. Disini Siwa dianggap
sebagai dewa tertinggi, sementara brahma dan wisnu dianggap sebagai penjelamaan
dari Siwa. Istri Siwa atau saktinya Uma dan parvati. Siwa dipuja sebagai dewa
tertinggi dengan nama mahadeva atau mahesvara, dengan saktinya mahadevi dan
mahesvari. Siwa juga disembah sebagai guru oleh para resi dan para yogin
(pertapa). Karena itu ia disebut sebagai Maha guru atau mahayogi, sebagai
penghancur atau pengrusak ia mendapat sebutan Mahakala dan saktinya Kali atau
Durga. Dan bentuk yang sangat menakutkan Bhairava dengan saktinya Candika (yang
maha bengis, ganas).
Salah satu bentuk pemujaan Siwa yang dilakukan oleh pada
Pendeta Siwa adalah dengan mengucapkan mantra yang disebut sebagai Mantra Catur
Dasa Siwa, yakni empat belas wujud Siwa.[3]Mantra
ini digunakan untuk mendapat pengaruh ke-Tuhan-an yang kuat dan suci serta
untuk mendapat kebahagian sekala-niskala.
Mantra itu sebagai berikut:
1. Om Ang Prasada Kala Siwaya namah
2. Om Ang Stiti Kala Siwaya namah
3. Om Ang Kala-kutha Siwaya namah
4. Om Ang Maha-suksma Siwaya namah
5. Om Ang Suksma Siwaya namah
6. Om Ang Anta-kala Siwaya namah
7. Om Ang Adhi-kala Siwaya namah
8. Om Ang Parama Siwaya namah
9. Om Ang Ati–suksma Siwaya namah
10. Om Ang Suksma-tara Siwaya namah
11.
Om Ang Suksma-tama Siwaya namah
12.
Om Ang Sada Siwaya namah
13.
Om Ang Parama Siwaya namah
14. Om Ang Sunia Siwaya namah
Pendeta Siwa yang mengucapkan dan meresapkan Mantra
Catur Dasa Siwa ingin mendudukkan Siwa dalam tubuh/ dirinya mulai dari bagian
bawah tubuh sampai ke bagian atas tubuh, yakni:
1. Mantra nomor 1 untuk kaki kanan
2. Mantra nomor 2 untuk kaki kiri
3. Mantra nomor 3 untuk perut
4. Mantra nomor 4 untuk pusar
5. Mantra nomor 5 untuk hati
6. Mantra nomor 6 untuk tangan kanan
7. Mantra nomor 7 untuk tangan kiri
8. Mantra nomor 8 untuk mata kanan
9. Mantra nomor 9 untuk mata kiri
10. Mantra nomor 10 untuk telinga
kanan
11. Mantra nomor 11 untuk telinga
kiri
12. Mantra nomor 12 untuk sela-sela
alis
13. Mantra nomor 13 untuk ujung
hidung
14.
Mantra nomor 14 untuk ubun-ubun
Para penganut Siwa juga mengakui
Bhakti sebagai cara memuja dan menyembah Siwa. Sekte ini juga terpecah-pecah
menjadi beberapa aliran lagii, seperti Pasupata, Kalamuka, Lingayat, dan
Kapalika. Aliran ini mendasarkan pandanganya pada kefislafatan.
Tokoh alliran Siwa yang terkenal
adalah Meykanda yang mengajarkan konsep Pati (Tuhan) itu kekal, berada tanpa
sebeb dan maha kuasa. Tuhan adalah Siwa yang berada dimana-mana dan maha
mengetahui segala sesuatu, segala sesuatu adalah ciptaanya melalui “Sakti” nya.
Pasu (jiwa) juga kekal, Pasu terkandung oleh Mala (semacat karat) yang terdiri
dari tiga Pasa (ikatan, persatuan) yaitu Anava, Karma, dan Maya sehingga jiwa
selalu dalam Samsara. Hanya Siwa yang berkuasa atas Maya jiwa dapat lepas dari
Samsara dan mencapai Moksa.[4]
Pada masa
permulaan Agama Hindu, Siwa tidak pernah dipuji orang sebagaimana halnya Wisnu.
Sebagai tanda kekuasaannya dewa ini digambarkan secara fantastis dengan tangan
empat. Bilamana ia sedang menjadi Siwa Maha Dewa (Maheswara) maka tak ada dewa
atupun yang dapat mengalahkan kekuasaannya. Bilamana ia sedang menjelma menjadi
dewa Maha Guru maka Siwa adalah sebagai oarang tua berjanggut yang saleh dan
suka membimbing manusia ke arah hidup bahagia. Sebagai ciri watak-wataknya
sebagai guru, dia disimbulkan dalam bentuk orang yang membawa kendi, sapu lalat
(cemara) dan tasbih ( akshamala). Tetapi bilamana ia sedang menjelma menjadi
Mahakala, maka watak serta sikapnya dilukiskan sebagai raksasa yang buas
merusak apa yang dikehendaki dan kejam. Oleh karena itu sebagai tanda pada Kroda
(amarahnya) diberi simbol Parasu (Kanpak), Trisula (lembing
dengan tiga mata). Dan Fesu (jaring).[5]
Jadi
keistimewaan Dewa Siwa ini adalah dapat mempunyai watak/sifat-sifat pribadi
yang satu sama lain kadang-kadang berlawanan. Dalam pemujaan-pemujaan demikian
mereka memberikan korban-korban dan saji-sajian setiap waktu tertentu dibawah
pimpinan pendeta-pendetanya.
SEKTE SAKTI
Paham Saktiisme,
atau disebut juga Kalaisme, Kalamukha, atau Kalikas (Kapalikas),adalah
paham yang dianut oleh penduduk asli India, Karena pengikut sekte ini
kebanyakan penduduk asli India, maka oleh bangsa Arya disebut Sudra
Kapalikas.
Aliran ini
memusatkan pemujaan terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga
atau Kali). Sebagai sakti (istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini
lebih ditonjolkan daripada dewa itu sendiri. Peran Dewi Durga dalam
menyelamatkan dunia dari ambang kehancuran ini disebut Kalimasada
(Kali-Maha-Husada), artinya “Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab” dalam
zaman kekacauan moral, pikiran, dan perilaku.
Sebenarnya aliran ini masih dapat dimasukkan sebagai
bagian dari aliran Siwa, tetapi karena yang disembah dan dipuji bukan lagi Siwa
melainkan saktinya dalam bentuk Darga, dan karena lebih luasdan lebih mendalam,
maka lebih tepat kalau dianggap sebagai salah satu aliran keagamaan tersendiri
dalam agama Hindu. Sakti adalah kekuatan, prinsip aktif yang menyebabkan Siwa
mampu menciptakan. Tanpa Sakti tersebut Siwa tidak akan dapat berbuat apa-apa
karena Siwa adalah prinsip pasif. Karena itu Sakti menjadi lebih penting
daripada Siwa sendiri. Segala sesuatu terjadi karena bersatunya prinsip pasif
dengan prinsip aktif. Yaitu persatuan Siwa dengan Saktinya, Durga.[6]
Persatuan antara
Siwa dan Saktinya adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan, yang
dilambangkan sebagai Linga dan Yoni. Karena itu hubungan seks mempunyai arti
yang ssangat penting dalam sekte Sakti ini. Karena segala sesuatu tercipta
melalui persatuan tersebut, maka egala sesuatau mengandung kekuatan dan Sakti
Siwa. Bentuk-bentuk tertentu dari Sakti dan segala sesuatu adalah baik; tidak ada
yang tidak baik. Hanya orang yang tidak mengerti saja yang beranggapan bahwa
ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ini keliru, karena anggapan itu hanya
didasarkan pada kesadaran manusia sendiri. Untuk mencapai kebenaran dan
kelepasan (moksa) manusia harus melepaskan diri dari belenggu kekeliruan ini.
Ia harus melepaskan kesadarannya sendiri sehingga dapat menyadari kebenaran
bahwa segala sesuatuadalah perwujudan dari Sakti dan Siwa, dan bahwa semua
adalah baik.[7]
Kesadaran in dapat dicapai melalui beberapa tahap,
yaitu:
1. VedaCara
Yaitu melakukan
korban dan mengucap mantra. Ini disebut Kriya-Marga.
2. VaisnavaCara
Yaitu
Bhatiseperti yang dilakukan pada aliran wisnu (disebut Bhakti-Marga)
3. SaivaCara
Yaitu jalan
penalaran untuk mengenal sifat siwa yang sebenarnya(jalan pengetahuan, atau Jenana-Marga)
4. DaksinaCara
(Jalan Kanan)
Yaitu jalan
orang yang sudah sadar akan sifat siwa yang sebenarnya sehingga sesembahan dan
puja tidak lagi ditujukan kepada siwa, tetapi kepada saktinya.
5. Vamacara
(Jalan Kiri)
Yaitu jalan bagi
orang yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dan dilakukan dibawah bimbingan
seorang guru. Dalam tingkatan ini seseorang menjadi sadar bahwa segala sesuatu
adalah sakti, baik. Yang harus dinyatakan dalam amalan yang terlarang bagi
awam.
6. SiddhantaCara
Yaitu jalan
kesadaran sejati, jalan keinsyafan. Berlaku hanya dikalangan orang yang sudah
tidak lagi terikat oleh kebiasaan umum. Bagi merfeka segala sesuatu adalah
baik.
7. KaulaCara
Yaitu jalan
orang yang sudah sadar dan menghayati bahwa segala sesuatu adalah sakti dan
satu dengan siwa. Orang seperti ini telah mencapai moksa sewaktu masih hidup
didunia ini.
SEKTE TANTRA
Sebenarnya sekte ini dapat dimasukkan
sebagai bagian dari sekte Sakti, tetapi karena beberapa pertimbangan dianggap
sebagai salah satu sekte sendiri dalam agama Hindu. Aliran ini disebut dengan Tantranaya karena mendasarkan diri pada
kitab-kitab Tantra. Sekte Tantra
merupakan perpaduan yang sinkretistik dari berbagai macam kepercayaan, termasuk
keperayaan primitif di India. Aliran ini juga terdapat pada agama Budha;
sementara dalam agama Hindu terdapat dalam kalangan para pemuja Siwa.[8]
Beberapa orang Indolog beranggapan bahwa ada
hubungan antara Konsep-Dewi (Mother-Goddes) yang bukti-buktinya terdapat dalam
suatu zeal di Lembah Sindhu (sekarang ada di Pakistan) dalam kurun waktu
sebelum zaman Weda, dengan Konsep Mahanirwana Tantra, Konsep ini berpangkal
pada percakapan Dewi Parwati dengan Sang Hyang Sada-Siwa yang membentangkan
turunnya Dewi Durga ke Bumi pada zaman Kali untuk menyelamatkan dunia dari
kehancuran moral dan perilaku. Dalam beberapa sumber Dewi Durga juga disebut
Candi. Dan sinilah pada mulanya muncul istilah “candi” (candikaghra) untuk
menamai bangunan suci sebagai tempat memuja dewa dan arwah yang telah suci,
Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia dari kehancuran moral dan perilaku
disebut Kalimosada (Kali-maha-usada,) yang artinya Dewi Durga adalah obat yang
paling mujarab dalam zaman kekacauan moral, pikiran dan perilaku; sedangkan
misi Beliau turun ke bumi disebut Kalika-Dharma.
Dan konsep Dewi
itu muncullah Saktiisme yaitu suatu paham yang mengkhususkan pemujaan kepada
Sakti yang merupakan suatu kekuatan daripada Dewa. Di dalam konsep monodualis
bahwa Nirguna Brahma dalam Dewa bersifat pasif yang juga disebut Dewi. Dari
sini muncullah istilah Dewa dan Dewi atau Bhatara-Bhatari yang oleh pikiran
manusia dipandang sebagai manifestasi tersendiri dan juga dipersonifikasikan
dalam imajinasi manusia secara tersendiri pula. Para pemuja sakti ini disebut
Sakta.
Dalam perkembangannya lebih lanjut dari Saktiisme
ini, maka muncullah Tantriisme yaitu suatu paham yang memuja Sakti secara
ekstrim. Para penganut paham ini disebut Tantrayana. Istilah “Tantrayana”
berasal dari akar kata “tan” yang artinya ‘memaparkan kesaktian “atau” kekuatan
daripada Dewi itu”.
A. Doktrin Tantrayana
Fokus ajaran Tantrayana adalah wujud suatu keseimbangan dalam
kehidupan di dunia ini. Ditekankannya bahwa keseimbangan kesejahteraan material
dengan kesejahteraan rohani adalah sangat penting untuk terwujudny jagadhita,
karena jagadhita ini memotivasi munculnya ketenangan batin yang merupakan suatu
syarat mutlak untuk mencapai ketenangan jiwa (bhukti) yang selanjutnya akan
menuju moksa (mukti), untuk terwujudnya keseimbangan itu, Tantrayana mengajarkan
dua sistem yang ditempuh yaitu : wahya dan adhyatmika (sekala dan niskala).
Pernyataan produk kedua sistem ini akan dapat mewujudkan jagadhita dalam
kehidupan. Dalam konteks sistem ini, maka konsep Monisme itu dikembangkan
menjadi konsep Monodualis yaitu : satu itu dijadikan dua dan dua itu disatukan
seperti yang telah dipaparkan di depan.
B. Upacara
Tantrayana menekankan betapa pentingnya upacara agama
(ritual) dilakukan, karena peran upacara agama merupakan suatu aktivitas untuk
memujudkan keseimbangan hidup di dunia ini. Di dalam kitab Mahanirwana Tantra
dibentangkan prinsip-prinsip upacara Panca-Yajna yang perlu dilaksanakan.
Disebutkan pula materi atau sarana-sarana yang digunakan upakara termasuk
penggunaan binatang korban dalam kaitannya dengan caru. Tantrayana secara rinci
menjelaskan tata-cara melakukan yajna serta kepada siapa yajna itu
dipersembahkan.
C. Tapa dan Brata
Pengendalian din melalui tapa dan brata sangat
ditekankan dalam Tantrayana. Istilah tapa berasal dari akar kata tap artinya panas.
Bertapa artinya memusatkan pikiran (cita) kepada Hyang Widhi dalam manifestasi
tertentu, Di dalam melaksanakan pemusatan pikiran itu badan akan merasa panas.
Menurut Yoga-Kundalini, bahwa panas yang muncul pada diri kita ketika
memusatkan pikiran itu akan membakar kekotoran (mala) yang melekat pada
Sthulasarira, suksmasarira dan antahkarana (malatraya).
Brata adalah
suatu disiplin batin yang memuat dua hal yaitu : keharusan dan larangan;
apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tantrayana
mengajarkan suatu brata yang patut dilakukan yaitu : Panca tattwa atau 5 (lima)
“ma” yang terdiri dari :
1. Matsya: makan ikan
sebanyak-banyaknya.
2. Mada: meminum tuak
sebanyak mungkin.
3. Mansa: makan daging
sebanyak-banyaknya.
4. Mudra: makan sejenis
nasi (padi-padian) sebanyak-banyaknya. Akhirnya
5. Mauethua:
melepaskan nafsu birahi sebanyak-banyaknya dengan wanita.[9]
D. Puja – Mantra
Mahanirwana Tantra yang dijadikan dasar pegangan
oleh Tantrayana sangat karya dengan Puja dan Mantra, Mantra-mantra seperi :
Mula Mantra, Bija-Mantra, Kutha Mantra, Astra Mantra, dan Kawaca Mantra serta
berbagai Wijaksara yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, menurut basil
penelitian berasal dari Mahanirwana Tantra. Demikian pula Stuti dan Stawa yang
digunakan di Bali, sebagian berasal dan Puja Mantra Tantrayana. Mudra dan
Siwa-upakarana yang yang digunakan oleh Sulinggih di Bali, berasal dari
Mahanirwana Tantra. Selain mengambil sumber dari Mahanirwana Tantra, bahwa
Puja-Parikrama di Bali mengambil sumber dari Catur Weda dan dari berbagai
Upanisad.
Mistik Hindu
selain dimunculkan oleh konsep Tantrayana, namun juga dimunculkan oleh
Atharwa-Weda. Sebagaimana dimaklumi, bahwa Atharwa-Weda memuat
formula-formula untuk menguasai kekuatan gaib dalam rangka mengamankan pelaksanaan
upacara agama. Dari sini dapatlah dipahami mengapa agama Hindu menggunakan
Wijaksara (magic sylable). Mudra dan Nyasa (lambang-lamhang gaib) dalam konteks
upacara agama. Di Bali, munculnya upacara yang bersifat khusus dengan
menggunakan upakara yang khusus pula dan spesifik seperti : Caru Lebur Sangsa,
Caru Nwagempang, Pangelukatan Dyus Kinurungan, Labaan Babahi, dan lain
sebagainya, dapat dipandang berasal dari kedua konsep tersebut tadi.[10]
TABEL KESIMPULAN DARI SETIAP SEKTE-SEKTE YANG TELAH DIBAHAS :
|
|||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||
DAFTAR PUSTAKA
1. H.A. Mukti Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
2. Arifin. Menguak
Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden Trayon Press,
1986)
4. http://www.sitehindu.web.id/2017/02/mengenal-sekte-sekte-dalam-agama-hindu.html
5. Ibid. h., 85
6.
http://diansullivan.blogspot.co.id/2012/12/sekte-sekte-dalam-agama-hindu.html
[4]
http://www.sitehindu.web.id/2017/02/mengenal-sekte-sekte-dalam-agama-hindu.html
[5] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta:
PT. Golden Trayon Press, 1086) h. 86
[6] H.A. Mukti Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 85
[7] Ibid. h., 85
[8] H.A. Mukti Ali. Agama-agama dunia (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 86
[9] Arifin. Menguak Misteri Ajaran Agama-agama Besar (Jakarta: PT. Golden
Trayon Press) h. 88
[1] H.A. Mukti Ali. Agama-agama
dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 76
Komentar
Posting Komentar